Suaradiksi.com. Aceh - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto bahwa rencana revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat memicu kembali situasi yang mirip dengan tragedi 2019.
"Sebelum terlambat, kita harus mengingatkan Presiden Prabowo agar tragedi 2019 tidak terulang. Ini adalah tahun pertama kepemimpinan beliau, dan sudah sepatutnya stabilitas nasional dijaga agar tidak terjadi gejolak apalagi tragedi," ujar Haidar Alwi, Selasa (4/2/2025).
Hampir enam tahun berlalu sejak gelombang demonstrasi menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan KUHP. Saat itu, aksi protes meletus di berbagai daerah karena revisi dianggap sebagai upaya melemahkan KPK.
Akibat demonstrasi besar-besaran, mobilitas masyarakat terganggu, fasilitas umum rusak, serta terjadi bentrokan antara rakyat dan aparat keamanan. Bahkan, tragedi tersebut menelan korban jiwa, termasuk pelajar dan mahasiswa. Salah satu insiden paling mengkhawatirkan adalah seorang mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia yang mengalami cedera serius, termasuk retak tengkorak, pendarahan otak, serta patah tulang bahu.
Kini, kekhawatiran akan tragedi serupa kembali mencuat setelah revisi UU Kejaksaan dan KUHAP masuk dalam 41 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang disepakati DPR.
Menurut Haidar Alwi, tujuan revisi UU Kejaksaan bukan untuk melemahkan lembaga, melainkan memperkuatnya dengan memberikan kewenangan penuh dalam perkara pidana melalui asas dominus litis. Namun, ia menilai kewenangan tersebut justru berpotensi menimbulkan persoalan baru.
"Di satu sisi, asas dominus litis memang dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum karena berkas perkara tidak perlu bolak-balik antara penyidik dan jaksa. Namun, di sisi lain, bisa menyebabkan tumpang tindih kewenangan, bahkan berpotensi menggerus peran kepolisian dan kehakiman," kata Haidar.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa selain dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri, jaksa juga memiliki kewenangan untuk mengintervensi penyidikan yang dilakukan kepolisian. Bahkan, jaksa bisa menentukan kapan suatu perkara naik ke tahap penyelidikan dan penyidikan serta memutuskan kelanjutan atau penghentian suatu kasus.
Selain itu, kewenangan jaksa diperluas hingga dapat menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan, yang sebelumnya menjadi ranah kehakiman. Haidar menilai hal ini berpotensi disalahgunakan, terutama dalam konteks tekanan politik, kepentingan pribadi, atau kasus yang melibatkan elit tertentu.
"Sebelumnya, kejaksaan juga menangani perkara korupsi, dari penyelidikan hingga penuntutan, serupa dengan kewenangan KPK. Padahal, secara normatif yuridis, kejaksaan tidak lagi berwenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi," jelasnya.
Menurut Haidar, jika jaksa bertindak sebagai penyidik tindak pidana tertentu, maka mereka berstatus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang seharusnya berkoordinasi dengan Polri sebagai Korwas PPNS sebagaimana diamanatkan KUHAP. Namun, ia mempertanyakan apakah koordinasi semacam itu benar-benar telah dilakukan secara optimal.
Secara prinsip, KUHAP menganut pemisahan antara fungsi penyidikan dan penuntutan. Penyidikan, termasuk penyelidikan, penangkapan, dan penahanan, merupakan kewenangan kepolisian. Namun, dengan revisi ini, kejaksaan dikhawatirkan akan semakin memperluas kewenangannya, bahkan melampaui batas ideal checks and balances dalam sistem hukum.
"Setelah bersaing dengan KPK dalam penanganan kasus korupsi dan merebut sebagian kewenangan kepolisian dalam KUHAP, apakah kejaksaan masih bisa menyangkal ambisinya untuk menjadi lembaga superbody?" tanya Haidar.
Ia menegaskan bahwa revisi UU Kejaksaan dan KUHAP yang memungkinkan jaksa mengintervensi kepolisian serta mengambil alih kewenangan kehakiman hanya akan memperkuat anggapan bahwa kejaksaan tengah berupaya menjadi lembaga dengan kekuasaan yang terlalu besar.
Penolakan terhadap asas dominus litis juga mulai mengemuka di masyarakat. Sebuah petisi daring telah ditandatangani hampir 40 ribu orang hingga sore ini.
Jika DPR dan pemerintah tidak menanggapi dengan bijak, gelombang penolakan ini bisa berlanjut ke aksi demonstrasi di dunia nyata. Terlebih, jika revisi UU Kejaksaan dan KUHAP disahkan secara diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik, dikhawatirkan akan memicu kemarahan masyarakat yang lebih besar.
"Seharusnya, revisi ini bertujuan memperkuat akses terhadap keadilan, transparansi, serta kesetaraan dalam sistem peradilan pidana. Bukan justru memperkuat satu pihak dengan melucuti kewenangan lembaga lain, yang pada akhirnya bisa membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi, serta melemahkan sistem checks and balances," pungkas Haidar Alwi. |Muslim, Kontributor Aceh